Mukaddimah
بِسم الله الرَّحْمَن الرَّحِيم الْحَمد
لله الَّذِي فرض علينا تعلم شرائع الْإِسْلَام وَمَعْرِفَة صَحِيح الْمُعَامَلَة وفاسدها
لتعريف الْحَلَال وَالْحرَام وَجعل مآل من علم ذَلِك وَعمل بِهِ الخلود فِي دَار السَّلَام
وَجعل مصير من خَالفه وَعَصَاهُ دَار الانتقام وَأشْهد أَن لَا إِلَه إِلَّا الله وَحده
لَا شريك لَهُ المان بِالنعَم الجسام وَأشْهد أَن مُحَمَّدًا عَبده وَرَسُوله الْمَبْعُوث
رَحْمَة للأنام صلى الله وَسلم عَلَيْهِ وعَلى آله وَصَحبه البررة الْكِرَام وَبعد:
Segala puji bagi Allah
rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga kepada para keluarganya, para
sahabatnya, dan juga para pengikutnya hingga hari akhir kelak.
Pada dasarnya kitab
‘kecil’ yang saya tulis ini adalah kumpulan catatan pribadi saya mengenai
pelaksanaan shalat idul fithri maupun shalat idul adha. Meski demikian, semoga
saja kumpulan catatan pribadi saya ini juga bisa memberikan manfaat bagi kaum muslimin
yang berbahasa Indonesia pada umumnya.
Lafadz Takbir Dua Hari
Raya
Keutamaan 10
Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Bila Shalat Id
Jatuh Pada Hari Jum’at
Dalam menyusun kitab ini
saya merujuk kepada kitab – kitab mu’tabar mazhab Syafi’i terutama kitab –
kitab karya al-Imam an-Nawawi rahimahullah seperti majmu’ syarah al-Muhadzdzab,
Khulashatul Ahkam, Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, dll. Begitu juga
kitab – kitab fiqh mazhab Syafi’i kontemporer seperti Fiqh al-Manhaji karya Dr.
Musthafa Dib al-Bugha dkk.
Semoga saja Allah
subhanahu wata’ala menjadikan kita semua sebagai orang yang faqih terhadap
agamaNya dan mampu mengamalkannya dengan segenap kemampuan yang diberikan olehNya.
Apabila ada kritik,
saran, dan koreksi, silahkan melayangkannya melalui alamat email abuharits2@gmail.com.
Depok, 9 Dzulhijjah
1434H,
Abu Harits Abdurrahman
Disyariatkannya Shalat Id
Disyariatkan untuk melaksanakan shalat pada
dua hari raya yaitu pada hari raya ‘idul fithri dan hari raya ‘idul adha.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan
berkurbanlah. (QS. Al-Kautsar [108]: 2)
Yang dimaksud dengan perintah shalat pada
surat al-Kautsar di atas adalah shalat idul adha.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus untuk
permainan, maka beliau bersabda: "Apakah maksud dari dua hari ini?"
mereka menjawab; "Kami biasa mengadakan permainan pada dua hari tersebut
semasa masih Jahiliyah." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda; "Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih
baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Idul Adha) dan hari
raya Idul Fithri." (HR. Abu Dawud dan Nasa’i. Imam Nawawi mengatakan bahwa
hadits tersebut sanadnya shahih).
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
"Pada hari raya Idul Fithri dan Adha Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam keluar menuju tempat shalat (lapangan), dan
pertama kali yang beliau kerjakan adalah shalat hingga selesai. Kemudian beliau
berdiri menghadap orang banyak sedangkan mereka dalam keadaan duduk di barisan
mereka. Beliau memberi pengajaran, wasiat dan memerintahkan mereka. Dan apabila
beliau ingin mengutus pasukan, maka beliau sampaikan atau beliau perintahkan
(untuk mempersiapkannya), setelah itu beliau berlalu pergi." (HR. Bukhari
& Muslim).
Hukum Melaksanakan Shalat Id
Hukum melaksanakan shalat Id adalah sunnah
muakkad karena Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam tidak pernah
meninggalkannya sejak disyariatkannya hingga Beliau wafat. Meski terus menerus
dikerjakan oleh Rasulullah, namun hal ini tidak membuat shalat id menjadi wajib
sesuai dengan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa shalat
yang wajib hanyalah shalat lima waktu dan shalat selainnya adalah sunnah.
Dari Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu
‘anhu beliau berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ثَائِرُ الرَّأْسِ نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلَا نَفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ قَالَ لَا إِلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ وَصِيَامُ شَهْرِ رَمَضَانَ
"Seorang laki-laki dari penduduk Nejd
yang rambutnya berdiri datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
kami mendengar gumaman suaranya, namun kami tidak dapat memahami sesuatu yang
dia ucapkan hingga dia dekat dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam menjawab: 'Islam adalah shalat lima waktu siang dan malam.' Dia
bertanya lagi, 'Apakah saya masih mempunyai kewajiban selain-Nya? ' Beliau
menjawab: 'Tidak, kecuali kamu melakukan shalat sunnah dan puasa Ramadlan.'
(HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu Pelaksanaan Shalat Id
Awal waktu shalat Id adalah ketika matahari
telah terbit sempurna. Akhir waktunya adalah ketika matahari bergeser dari
tengah – tengah langit.
Dari Al Bara' beliau berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا
Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam menyampaikan khutbah, sabdanya: "Pertama kali yang akan kita
kerjakan pada hari ini adalah shalat, kemudian kembali pulang dan menyembelih
hewan kurban. Maka barangsiapa mengerjakan seperti ini berarti dia telah memenuhi
sunnah kami." (HR. Bukhari).
Pada hadits tersebut yang dimaksud dengan
permulaan hari adalah ketika terbitnya fajar. Pada saat itu, kaum muslimin
tentunya sibuk untuk mengerjakan shalat subuh yang waktu pelaksanaannya adalah
hingga sebelum terbitnya matahari secara sempurna. Sedangkan setelah matahari
bergeser dari tengah – tengah langit, kaum muslimin tentunya sibuk untuk
mengerjakan shalat dhuhur. Dengan demikian waktu pelaksanaan shalat Id adalah
setelah matahari terbit sempurna hingga sebelum matahari bergeser dari tengah –
tengah langit.
Tempat Pelaksanaan Shalat Id
Disunnahkan untuk melaksanakan shalat di
mushalla (tanah lapang) bila masjidnya sempit atau tidak cukup untuk menampung
banyaknya jama’ah. Kondisi tidak cukupnya masjid merupakan kondisi yang umum di
Indonesia sehingga sebaiknya shalat Id dilaksanakan di tanah lapang. Hal ini tentunya berbeda dengan kondisi yang ada
di masjidil haram.
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
"Pada hari raya Idul Firi dan Adha
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar menuju mushalla (tempat shalat di
lapangan), dan pertama kali yang beliau kerjakan adalah shalat hingga selesai.
Kemudian beliau berdiri menghadap orang banyak sedangkan mereka dalam keadaan
duduk di barisan mereka. Beliau memberi pengajaran, wasiat dan memerintahkan
mereka. Dan apabila beliau ingin mengutus pasukan, maka beliau sampaikan atau
beliau perintahkan (untuk mempersiapkannya), setelah itu beliau berlalu
pergi." (HR. Bukhari & Muslim).
Bila ada udzur untuk melaksanakan shalat id
di mushalla, maka diperintahkan untuk shalat id di masjid, misalnya saja karena
hujan, dingin yang amat sangat, dll.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَصَلَّى بِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْعِيدِ فِي الْمَسْجِدِ
bahwa beliau pernah kehujanan pada waktu
pelaksanaan shalat Id, maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakannya
di masjid." (HR. Abu Dawud, Imam Nawawi mengatakan hadits ini sanadnya
hasan).
Cara Pelaksanaan Shalat Id
Secara umum, pelaksanaan shalat Id sama
dengan pelaksanaan shalat – shalat wajib. Baik itu rukun maupun sunnahnya. Akan
tetapi ada beberapa hal berikut ini yang menjadi kekhususan shalat Id dan
membedakannya dari shalat – shalat wajib maupun shalat – shalat sunnah lainnya.
1.
Shalat Id disunnahkan
untuk dikerjakan secara berjama’ah, disunnahkan bagi kaum muslimin seluruhnya
untuk menghadiri shalat Id. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat Abu Sa’id al-Khudri di atas dan juga riwayat Ummu ‘Athiyah berikut ini.
Dari Ummu 'Athiyyah radhiyallahu ‘anha
beliau berkata:
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
"Pada hari Raya Id kami diperintahkan
untuk keluar sampai-sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga
para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki
dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti
doanya kaum laki-laki dengan mengharap barakah dan kesucian hari raya
tersebut." (HR. Bukhari).
2.
Shalat Id
dikerjakan tanpa adzan dan iqamah. Sedangkan khutbah dilaksanakan setelah
shalat.
Dari 'Atha' bin Abi Rabah rahimahullah:
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَرْسَلَ إِلَى
ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي أَوَّلِ مَا بُويِعَ لَهُ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ
بِالصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِنَّمَا الْخُطْبَةُ بَعْدَ الصَّلَاةِ
Bahwa Ibnu 'Abbas menyampaikan kepada Ibnu
Az Zubair pada awal dia dibai'at sebagai khalifah, bahwa tidak ada adzan dalam
shalat Hari Raya 'Idul Fithri (di jaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), dan bahwasanya khutbah
dilaksanakan setelah shalat." (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah rahimahullah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَا لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Ibnu 'Abbas, dan dari Jabir bin
'Abdullah keduanya berkata, "Dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak
ada adzan." (HR. Bukhari & Muslim).
Pada saat pelaksanaan shalat Id, karena
tidak ada adzan dan iqamah, disunnahkan untuk menyeru mendirikan shalat secara
berjama’ah dengan lafadz الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ. Hal ini diqiyaskan kepada shalat Kusuf yang pelaksanaannya
juga tanpa adzan dan iqamah.
Dari 'Abdullah bin 'Amru beliau berkata:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
"Saat terjadi gerhana matahari di
zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka diserukan dengan panggilan,
'Ashshalaatul jaami'ah (Marilah mendirikan shalat secara bersama-sama) '. (HR.
Bukhari & Muslim).
3.
Shalat Id
dikerjakan dua raka’at
Dari Abdurrahman Bin Abul Laila dari Umar
radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Shalat dalam bepergian itu dua
rakaat, shalat Idul Adha itu dua rakaat, shalat Idul Fithri itu dua rakaat dan shalat Jum'at itu dua rakaat genap tanpa
qashar (diringkas) berdasarkan lisan Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam." (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Baihaqi. Imam Nawawi mengatakan hadits
ini hadits hasan).
Imam Nawawi mengatakan di dalam kitabnya
Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab bahwa shalat Id itu dua raka’at berdasarkan ijma’.
4.
Shalat Id
dikerjakan dengan diawali takbiratul ihram. Kemudian setelah takbiratul ihram,
disunnahkan untuk membaca do’a iftitah. Kemudian disunnahkan bertakbir tambahan sebanyak tujuh
kali dengan mengangkat tangan sebagaimana takbiratul ihram. Kemudian diwajibkan
untuk membaca surat al-Fatihah dan disunnahkan untuk mengawalinya dengan
membaca ta’awwudz. Setelah membaca surat al-Fatihah, disunnahkan untuk membaca
surat – surat atau sebagian surat dari al-Qur’an. Pada raka’at kedua, dilakukan
sebagaimana pada raka’at pertama akan tetapi tanpa membaca do’a iftitah dan
takbir tambahannya dilakukan sebanyak lima kali. Jumlah takbir yang tujuh kali pada
raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua tidak termasuk takbiratul
ihram, takbir hendak ruku’, dan takbir bangkit dari sujud pada raka’at pertama.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu
‘anhu beliau berkata:
قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda:
takbir pada waktu shalat Idul fithri tujuh kali pada rakaat pertama dan lima
kali pada rakaat terakhir dan bacaan Al-Qur'an setelah itu semua. (HR. Abu
Dawud. Imam Nawawi mengatakan hadits ini sanadnya hasan, dengan keseluruhan
riwayat yang ada hadits ini menjadi shahih).
Perihal mengangkat tangan pada saat takbir
tambahan, Imam Nawawi mengatakan bahwa mengangkat tangan ketika takbir tambahan yang
tujuh dan lima kali adalah disukai (sunnah sebagaimana halnya mengangkat tangan
ketika takbiratul ihram). Pendapat yang demikian juga merupakan pendapat dari
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, sementara Imam Malik mengatakan tidak mengangkat
tangan ketika takbir tambahan.
Apabila lupa ataupun tertinggal dalam
mengerjakan takbir – takbir tambahan tersebut baik itu kurang jumlahnya dsb
hingga imam mulai membaca al-Fatihah, maka tidak perlu mengerjakan takbir –
takbir tambahan yang kurang atau lupa tersebut. Hal ini dikarenakan waktu untuk
melakukannya telah berakhir dengan dimulainya bacaan al-Fatihah. Sehingga tidak
perlu mengerjakan yang tertinggal sebagaimana ketika seseorang tertinggal
membaca do’a iftitah, karena hal tersebut adalah sunnah dan bukan wajib (rukun
shalat).
5.
Disukai
untuk berhenti sejenak di antara takbir – takbir tambahan yang tujuh kali dan
lima kali dengan kadar membaca satu ayat yang tidak panjang dan tidak pendek.
Mengucapkan tahlil, takbir, tahmid, dan mengagungkan Allah di antara takbir –
takbir tambahan tersebut. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan
Imam Ahmad. Sedangkan Imam Malik mengatakan tidak membaca apa – apa di antara
takbir – takbir tambahan tersebut.
Dari ‘Alqamah beliau berkata:
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، وَأَبَا مُوسَى وَحُذَيْفَةَ خَرَجَ إِلَيْهِمْ الْوَلِيدُ بْنُ عُقْبَةَ قَبْلَ الْعِيدِ، فَقَالَ لَهُمْ: إِنَّ هَذَا الْعِيدَ قَدْ دَنَا، فَكَيْفَ التَّكْبِيرُ فِيهِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: " تَبْدَأُ
فَتُكَبِّرُ تَكْبِيرَةً تَفْتَتِحُ بِهَا الصَّلَاةَ، وَتَحْمَدُ رَبَّكَ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تَدْعُو وَتُكَبِّرُ، وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تَقْرَأُ وَتَرْكَعُ، ثُمَّ تَقُومُ فَتَقْرَأُ، وَتَحْمَدُ رَبَّكَ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تَدْعُو، ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ". وَهَذَا
مِنْ قَوْلِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَوْقُوفٌ عَلَيْهِ، فَتَابَعَهُ فِي الْوُقُوفِ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ لِلذِّكْرِ إِذْ لَمْ يُرْوَ خِلَافُهُ عَنْ غَيْرِهِ، وَنُخَالِفُهُ فِي عَدَدِ التَّكْبِيرَاتِ وَتَقْدِيمِهِنَّ عَلَى الْقِرَاءَةِ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَمِيعًا بِحَدِيثِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ فِعْلِ أَهْلِ الْحَرَمَيْنِ، وَعَمَلِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ
Bahwasanya Ibnu Mas’ud, Abu Musa, dan
Hudzaifah didatangi oleh Al-Walid bin Uqbah sebelum shalat hari raya. Al-Walid
bertanya kepada mereka, “Hari id sudah dekat, bagaimana cara takbir di
dalamnya.” Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Anda awali dengan takbiratul ihram
sebagai pembuka shalat, anda puji Allah dan membaca shalawat untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdoa. Lalu bertakbir lagi, dan
anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu
lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir
lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Kemudian membaca (al-Fatihah) dan
ruku’. Kemudian berdiri dan membaca (al-Fatihah), memuji Rabb anda, dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berdoa. Lalu
bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan
anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti
itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. (Al-Baihaqi
berkata:) Ini adalah perkataan ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
secara mauquf (perkataan sahabat). Maka kami mengikuti apa yang dilakukan
Ibnu Mas’ud dalam diam di antara dua takbir untuk berdzikir ketika tidak
ada riwayat yang menyelisihi dari selainnya. Dan (kami) berbeda dengannya dalam
hal jumlah takbir dan mendahulukan membaca al-Fatihah pada raka’at yang kedua,
seluruhnya berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
perbuatan ahlul Madinah dan Makkah, serta apa yang diamalkan oleh kaum muslimin
hingga hari ini. Wabillahi taufiq. (HR. Baihaqi, Imam Nawawi mengatakan
sanadnya hasan).
Imam an-Nawawi mengatakan:
Adapun jumhur sahabat – sahabat (ulama
mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa dzikir yang dibaca di antara takbir – takbir
tersebut adalah:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
“Maha Suci Allah, segala puji bagiNya,
tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar”.
Apabila menambah dengan dzikir – dzikir yang
lain (dzikir, shalawat, do’a), hal itu diperbolehkan. Al-Shaydalani mengatakan
dari sebagian sahabat – sahabat (ulama mazhab Syafi’i), bahwa dzikir yang
dibaca di antara takbir – takbir tersebut adalah:
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ له له الملك وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شئ قَدِيرٌ
“Tiada tuhan selain Allah yang satu, tiada
sekutu bagiNya, baginya kerajaan dan baginya segala pujian, ditanganNya segala
kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Ibnu ash-Shabbagh berkata: apabila membaca
bacaan yang biasa dibaca oleh orang – orang yaitu:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَثِيرًا
merupakan suatu hal yang baik. (An-Nawawi,
Majmu Syarh al-Muhadzdzab).
Pada dasarnya tidak ada ketentuan dzikir
yang harus dibaca, boleh dzikir apapun. Meski demikian, berdzikir dengan bacaan
- bacaan di atas terutama yang dianjurkan oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah lebih
disukai mengingat dzikir – dzikir tersebut adalah dzikir – dzikir yang telah
dipilih oleh para ulama karena keutamaannya sebagaimana disebutkan di dalam
berbagai hadits.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah bersabda: 'Sesungguhnya membaca SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WALAA
ILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada
Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar) adalah lebih aku cintai daripada
segala sesuatu yang terkena oleh sinar matahari.'" (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
"Barang siapa yang membaca LAA ILAAHA
ILLALLAHU WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHUU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA
KULLI SYAI'IN QODIR (Tidak ada ilah (yang berhaq disembah) selain Allah Yang
Maha Tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala
puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) sebanyak seratus kali dalam
sehari, maka baginya mendapatkan pahala seperti membebaskan sepuluh orang budak,
ditetapkan baginya seratus hasanah (kebaikan) dan dijauhkan darinya seratus
keburukan dan baginya ada perlindungan dari (godaan) setan pada hari itu hingga
petang dan tidak ada orang yang lebih baik amalnya dari orang yang membaca doa
ini kecuali seseorang yang dapat lebih banyak mengamalkan (membaca) dzikir
ini". (HR. Bukhari & Muslim).
6.
Disunnahkan
untuk membaca surat Qaf (surat ke 50) dan surat al-Qamar (surat ke 54) ataupun
surat al-A’la (surat ke 87) dan surat al-Ghasiyah (surat ke 88).
Dari Ubaidullah bin Abdullah bahwasanya
Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Abu Waqid Al
Laitsi:
مَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ وَاقْتَرَبَتْ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
"Surat apa yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat Idul Adha dan Idul
Fithri?" ia menjawab, "Beliau membaca surat 'QAAF WAL QUR`ANIL
MAJIID' dan 'IQTARABATIS SAA'ATU WAN SYAQQAL QAMAR.'" (HR. Muslim).
Hadits Abu Waqid di atas juga menjadi dalil
bahwa shalat Id itu merupakan shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan
bacaannya), karena bila Rasul sebagai imam tidak mengeraskan bacaannya,
tentunya Abu Waqid tidak dapat mendengar surat apa yang dibaca oleh Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Nu'man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam biasa membaca surat Al A'la dan surat Al Ghasyiah dalam shalat dua
hari raya dan shalat Jum'at. Bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum'at,
beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalat itu." (HR.
Muslim).
7.
Apabila
seseorang tertinggal dalam mengerjakan shalat Id bersama Imam, maka dibolehkan
untuk mengqadha’ shalat Id dengan shalat sendirian.
Khutbah Shalat Id
1.
Disunnahkan
untuk melaksanakan dua khutbah setelah melakukan shalat id.
Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, Abu Bakar, dan 'Umar radhiyallahu 'anhu mereka melaksanakan shalat
dua Hari Raya sebelum khutbah." (HR. Bukhari & Muslim).
Imam an-Nawawi mengatakan di dalam kitabnya
Khulashah al-Ahkam bahwa tidak ada satu hadits pun yang tsabit (tetap) mengenai
berulangnya khutbah id (dua khutbah dalam shalat id). Pendapat yang mu’tamad
(yang dapat dipercaya atau shahih) dalam permasalahan ini adalah qiyas kepada
shalat jum’at.
Imam Nawawi di dalam kitabnya Raudhatuth
Thalibin mengatakan bahwa hukum mendengarkan khutbah adalah sunnah. Apabila
seseorang masuk, sedangkan Imam sedang berkhutbah, apabila berada di musholla (tanah
lapang), maka orang yang baru masuk tersebut duduk dan mendengarkan khutbah.
Kemudian bila telah selesai, maka baru mengerjakan shalat Id secara sendirian.
2.
Disunnahkan
bagi khatib untuk berkhutbah di atas mimbar.
Dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى يَدِ بِلَالٍ
"Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
berdiri untuk melaksanakan shalat pada hari Raya Iedul Fitri, dan yang pertama
kali beliau kerjakan adalah shalat, baru kemudian menyampaikan khutbah. Selesai
khutbah beliau turun (dari mimbar) dan mendatangi jama'ah wanita untuk
mengingatkan mereka dengan bersandar pada tangan Bilal...(HR. Bukhari).
3.
Setelah
naik mimbar, khatib menghadap ke jama’ah, memberi salam kepada mereka, lalu
kemudian duduk. Kemudian berkhutbah sebagaimana khutbah jum’at dalam hal rukun
– rukunnya dan sifat – sifatnya kecuali pada khutbah id tidak disyaratkan untuk
berdiri tetapi yang afdhal adalah berdiri. Disunnahkan untuk memisahkan kedua
khutbah dengan duduk sebagaimana memisahkan dua khutbah dalam khutbah jum’at.
Boleh juga bagi khatib
untuk berkhutbah sembari duduk.
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ يَوْمَ عِيدٍ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkhutbah di atas kendaraannya pada hari id. (HR. Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya).
4.
Disukai mengawali
khutbah yang pertama dengan sembilan (9) kali takbir dan pada khutbah yang
kedua dengan tujuh (7) kali takbir. Takbir – takbir ini bukanlah bagian dari
khutbah, akan tetapi hanya kalimat – kalimat pembuka sebelum dimulainya
khutbah.
Terdapat atsar dari tabi’in mengenai hal
ini sebagai berikut:
عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ قَالَ: " مِنَ
السُّنَّةِ تَكْبِيرُ الْإِمَامِ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى حِينَ يَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ تِسْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَسَبْعًا حِينَ يَقُومُ،...."
Dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah
bin ‘ Mas’ud bahwasanya beliau berkata: “merupakan as-sunnah Imam bertakbir
pada hari idul fitri dan idul adha ketika duduk di atas mimbar sebelum khutbah,
sembilan kali takbir dan tujuh kali takbir ketika berdiri..... (HR. Syafi’i dan
Baihaqi).
Imam Nawawi mengatakan di dalam kitabnya
Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab bahwa hadits tersebut adalah hadits dhaif karena
Ubaidullah adalah tabi’in, ketika seorang tabi’in mengatakan “merupakan as-sunnah”
maka terdapat dua pendapat menurut ulama - ulama madzhab Syafi’i, yang pertama
dan ini adalah yang lebih kuat bahwa hadits tersebut adalah mauquf dan yang
kedua adalah marfu’ mursal. Apabila kami (Imam Nawawi) katakan mauquf, maka hal
tersebut adalah perkataan sahabat, tidak tsabit (tetap) penyebarannya sehingga
tidak berhujah dengannya menurut pendapat yang shahih. Apabila kami katakan
marfu’ maka kami katakan mursal yang tidak berhujah dengannya.
Lebih lanjut, Imam Nawawi mengatakan bahwa
takbir – takbir tersebut bukanlah bagian dari khutbah dan merupakan kalimat
pembuka saja yang mengawali dimulainya khutbah. Akan tetapi, meski demikian Imam Nawawi tetap
mengatakan bahwa disukai untuk membuka khutbah Id dengan 9 kali takbir dan 7
kali takbir. Para ulama’ menjelaskan bahwa sah khutbah Id tanpa adanya takbir –
takbir pembuka tersebut karena takbir – takbir tersebut bukanlah bagian dari
khutbah. Dhaifnya hadits yang menjadi sandarannya adalah dikarenakan hal itu
adalah perkataan tabi’in yang disandarkan kepada perkataan/perbuatan sahabat
mengenai hal itu, dalam hal ini hadits dhaif tersebut dipakai sebagai fadhail amal (keutamaan
amal).
5.
Disunnahkan
bagi khatib untuk menyampaikan hukum - hukum yang terkait dengan hari raya id
yaitu saat idul fitri menyampaikan hal – hal yang berkaitan dengan zakat
fithrah dan saat idul adha menyampaikan hal – hal yang berkaitan dengan udhiyah
(kurban).
Dari Al Barra` bin 'Azib radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ فَقَالَ لَا يَذْبَحَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يُصَلِّيَ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam pernah berkhutbah pada hari raya Qurban, lalu beliau bersabda:
"Janganlah salah seorang dari kalian berkurban hingga selesai
shalat." (HR. Muslim).
Sunnah – Sunnah yang Berkaitan Dengan Shalat Id
1.
Disunnahkan
untuk makan sebelum shalat idul fitri dan tidak makan terlebih dahulu sebelum
shalat Idul adha.
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ
bahwa Nabi Shallahu 'alaihi wa sallam tidak
keluar (ke tempat shalat) pada hari raya idul fithri sampai beliau makan terlebih dahulu, dan beliau tidak makan terlebih dahulu pada hari raya
idul adha sampai beliau shalat terlebih dahulu. (HR. At-Tirmidzi, Imam Nawawi
mengatakan hadits ini hadits hasan).
2.
Disunnahkan
untuk makan kurma dengan bilangan ganjil sebelum shalat idul fitri.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
"Pada hari raya Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam tidak berangkat untuk melaksanakan shalat hingga beliau makan
beberapa butir kurma." Murajja' bin Raja' berkata; telah menceritakan
kepadaku 'Ubaidullah berkata, telah menceritakan kepadaku Anas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, "Beliau makan beberapa kurma dengan bilangan
ganjil." (HR. Bukhari).
3.
Disunnahkan
untuk mandi sebelum shalat Id.
Disunnahkan untuk mandi sebelum shalat id
karena pada saat shalat Id manusia berkumpul seluruhnya, sehingga disunnahkan
untuk mandi sebelum menghadirinya sebagaimana mandi sebelum shalat jum’at.
Disunnahkannya mandi sebelum shalat Id adalah qiyas kepada sunnahnya mandi
sebelum shalat jum’at. Terdapat juga atsar shahabat yang menunjukkan
disunnahkannya mandi sebelum shalat Id.
Dari Nafi':
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Bahwa Abdullah bin Umar mandi pada Hari
Raya Idul Fithri sebelum pergi ke tempat shalat Id." (Diriwayatkan oleh Imam Malik
dalam Muwaththa’ nya, Imam Nawawi mengatakan atsar ini shahih).
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa waktu untuk
mengerjakan mandi sebelum shalat Id adalah ketika masuk pertengahan malam
(hingga shalat Id). (an-Nawawi, Minhajuth Thalibin).
4.
Memakai
wangi – wangian, pakaian yang bagus, dan menggosok gigi.
Disunnahkan untuk memakai wangi – wangian, mengenakan
pakaian yang bagus, dan juga menggosok gigi sebelum shalat id. Hal ini
diqiyaskan kepada sunnahnya shalat jum’at.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri dan Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhuma keduanya berkata:
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَلَمْ يَتَخَطَّ أَعْنَاقَ النَّاسِ ثُمَّ صَلَّى مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِهِ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ جُمُعَتِهِ الَّتِي قَبْلَهَا
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Barang siapa yang mandi pada hari Jum'at dan memakai pakaian
yang paling bagus, serta memakai wangi-wangian kalau dia punya, setelah itu dia
mendatangi shalat Jum'at di masjid dan tidak melangkahi leher-leher jama'ah,
kemudian mengerjakan shalat yang diperintahkan Allah, lalu dia diam (untuk
mendengarkan khutbah) apabila imam telah datang untuk berkhutbah, sampai dia
selesai dari shalatnya. Maka shalatnya itu menjadi penebus dosa baginya antara
Jum'at itu dengan Jum'at sebelumnya." (HR. Abu Dawud, Imam Nawawi
mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan).
Dari Abdurrahman bin Abu Sa'id Al Khudri
dari bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ وَيَمَسُّ مِنْ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ
"Mandi pada hari jum'at bagi setiap
muslim yang muhtalim (telah dewasa). Begitu pula bersiwak (menggosok gigi), dan
menyentuh (memakai) wewangian sekedar yang dapat ia lakukan." (HR.
Muslim).
Bagi kaum wanita makruh memakai wangi –
wangian ketika shalat id karena dikhawatirkan mengundang fitnah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ
"Janganlah kalian menghalangi kaum
wanita itu pergi ke masjid - masjid Allah, akan tetapi hendaklah mereka itu pergi tanpa memakai
wangi-wangian." (HR. Abu Dawud, Imam Nawawi mengatakan hadits ini hadits
hasan).
5.
Disunnahkan
untuk berjalan menuju ke tempat shalat Id tanpa menggunakan kendaraan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوهَا تَمْشُونَ عَلَيْكُمْ السَّكِينَةُ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
"Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Jika shalat sudah ditegakkan (iqamatnya) janganlah kalian mendatanginya dengan
tergesa-gesa. Datangilah dengan berjalan tenang. Maka apa yang kalian dapatkan
shalatlah, dan mana yang ketinggalan sempurnakanlah." (HR. Bukhari &
Muslim).
6.
Disunnahkan
untuk datang ke tempat shalat Id pagi – pagi sekali sebagaimana disunnahkannya
datang ke masjid untuk shalat jum’at lebih awal dari waktunya. Hal ini tidak
berlaku bagi imam sebagaimana dibahas pada point selanjutnya.
Dari Aus bin Aus -sahabat Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam- beliau berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَغَسَلَ وَغَدَا وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ وَأَنْصَتَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ
"Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda: 'Barangsiapa mandi pada hari Jum'at dan berwudhu, lalu sedini
mungkin berangkat dengan berjalan kaki tidak naik kendaraan, dan mendekat
kepada imam lalu ia diam tanpa berbuat perbuatan yang sia-sia, tiap langkahnya
laksana amalan (ibadah) satu tahun." (HR. Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah.
Imam Nawawi mengatakan hadits ini hadits hasan).
7.
Disunnahkan
bagi Imam untuk datang paling belakangan menuju ke tempat shalat Id. Hal ini
sesuai dengan hadits riwayat Abu Sa’id al-Khudri berikut ini yang menceritakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam langsung melaksanakan shalat Id
setibanya di tempat shalat tanpa duduk – duduk terlebih dahulu menunggu jama’ah
berkumpul .
Dari Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
"Pada hari raya Idul Fithri dan Adha Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam keluar menuju tempat shalat (lapangan), dan
pertama kali yang beliau kerjakan adalah shalat hingga selesai. Kemudian beliau
berdiri menghadap orang banyak sedangkan mereka dalam keadaan duduk di barisan
mereka. Beliau memberi pengajaran, wasiat dan memerintahkan mereka. Dan apabila
beliau ingin mengutus pasukan, maka beliau sampaikan atau beliau perintahkan (untuk
mempersiapkannya), setelah itu beliau berlalu pergi." (HR. Bukhari &
Muslim).
8.
Disunnahkan
untuk pulang melalui jalan yang berbeda dengan jalan sewaktu pergi menuju ke
tempat shalat Id.
Dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu
'anhuma, beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam shalat 'Id, beliau mengambil jalan yang berbeda (antara berangkat dan
kembali)." (HR. Bukhari).
9.
Disukai
untuk mengakhirkan shalat idul fitri dan menyegerakan shalat idul adha. Para
ulama’ menjelaskan bahwa pengakhiran shalat idul fitri digunakan untuk memberi
kesempatan kepada orang – orang untuk menunaikan zakat fitrah sedangkan
penyegeraan shalat idul adha digunakan untuk memperluas waktu penyembelihan.
Shalat Sunnah Sebelum dan Setelah Shalat Id
Pada umumnya, tidak ada shalat sunnah
sebelum maupun setelah shalat Id karena shalat Id itu adalah shalat sunnah dan
tidak ada shalat sunnah yang mengikuti shalat sunnah.
1.
Bagi imam,
makruh hukumnya melaksanakan shalat sunnah sebelum maupun setelah shalat Id.
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا وَمَعَهُ بِلَالٌ
bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
keluar pada Hari Raya 'Idul Fithri, beliau melaksanakan shalat dua rakaat, tanpa melaksanakan shalat
baik sebelum atau sesudahnya. Dan saat itu beliau bersama Bilal radhiyallahu 'anhu." (HR.
Bukhari).
2.
Bagi
makmum, boleh melakukan shalat sunnah sebelum maupun sesudahnya asalkan waktu
tersebut bukanlah waktu – waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalat. Imam
Nawawi mengatakan bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan hal ini dari para sahabat dan
tabi’in yang mengerjakan shalat sunnah sebelum shalat Id.
عَنْ أَيُّوبَ ، قَالَ : " رَأَيْتُ
أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ " يَجِيءُ
يَوْمَ الْعِيدِ فَيُصَلِّي قَبْلَ خُرُوجِ الإِمَامِ "
Dari Ayyub beliau berkata:
Aku melihat Anas bin Malik datang pada hari
Id, maka beliau shalat sebelum keluarnya imam. (HR. Baihaqi. (Para perawi atsar
ini tsiqah).
Takbir Dua Hari Raya
Disunnahkan untuk bertakbir (takbiran) pada
dua hari raya. Takbiran pada hari raya Id itu ada dua macam, mursal (atau
mutlak) dan muqayyad.
1.
Takbir
mursal atau takbir mutlak yaitu takbir yang dilakukan di mana saja baik itu di
masjid, di pasar, di jalan, dll dengan mengeraskan suara. Takbir mursal
dilakukan pada malam hari raya Id dimulai dari tenggelamnya matahari hingga
imam mulai melaksanakan shalat id.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]:185)
Dari Ummu 'Athiyyah radhiyallahu ‘anha
beliau berkata:
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
"Pada hari Raya Ied kami diperintahkan
untuk keluar sampai-sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga
para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum
laki-laki dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan
berdoa mengikuti doanya kaum laki-laki dengan mengharap barakah dan kesucian
hari raya tersebut." (HR. Bukhari).
وَعَن نَافِع: " أَن
ابْن عمر كَانَ يَغْدُو إِلَى الْعِيد من الْمَسْجِد، وَكَانَ يرفع صَوته بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى يَأْتِي الْمُصَلِّي، ويكبّر حَتَّى يَأْتِي الإِمَام " رَوَاهُ
الْبَيْهَقِيّ.
وَقَالَ: " هَذَا
هُوَ الصَّحِيح مَوْقُوف عَلَى ابْن عمر ".
Dari Nafi’ rahimahullah,
bahwasanya Ibnu ‘Umar berangkat ke shalat Id dari masjid, dan adalah beliau
mengeraskan suaranya dengan bertakbir hingga sampai di mushalla, dan beliau
bertakbir hingga imam datang. (Atsar riwayat al-Baihaqi, beliau berkata:
(atsar) ini yang shahih adalah mauquf atas Ibnu ‘Umar).
Adapun takbir mursal pada
hari raya idul adha diqiyaskan kepada takbir mursal pada hari raya idul fithri.
2.
Adapun
takbir muqayyad yaitu takbir yang dilaksanakan setelah shalat wajib maupun
setelah shalat sunnah pada hari raya idul adha (tanggal 10 dzulhijjah) dan hari
tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah) dengan mengeraskan suara. Waktunya
dimulai pada shalat subuh di hari raya idul adha hingga shalat ashar pada hari
terakhir hari tasyrik (tanggal 13 dzulhijjah). Imam Nawawi mengatakan bahwa
takbir muqayyad ini disyariatkan berdasarkan pada ijma’ umat (islam).
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
dalam beberapa hari yang berbilang. (QS. Al-Baqarah [2]: 203).
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat
bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. (QS. Al-Hajj [22]: 28).
Imam Nawawi mengatakan: Ibnu ‘Abbas dan
jumhur berkata: yang dimaksud dengan (مَعْلُومَاتٍ) adalah 10 hari pertama bulan haji, dan (مَعْدُودَاتٍ) adalah hari tasyrik (hari yang diharamkan
untuk berpuasa).
Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats Tsaqafi beliau
berkata:
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ وَنَحْنُ غَادِيَانِ مِنْ مِنًى إِلَى عَرَفَاتٍ عَنْ التَّلْبِيَةِ كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُونَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَ يُلَبِّي الْمُلَبِّي لَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ وَيُكَبِّرُ الْمُكَبِّرُ فَلَا يُنْكَرُ عَلَيْهِ
"Aku bertanya kepada Anas bin Malik
-saat itu kami berdua sedang berangkat dari Mina menuju 'Arafah- tentang
talbiyyah, 'Bagaimana kalian melaksanakannya bersama Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam? ' Dia menjawab, "Di antara kami ada seorang yang membaca
talbiyyah, namun hal itu tidak diingkari, dan ada yang bertakbir namun hal itu
juga tidak diingkari." (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari
bapaknya ia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَدَاةِ عَرَفَةَ فَمِنَّا الْمُكَبِّرُ وَمِنَّا الْمُهَلِّلُ فَأَمَّا نَحْنُ فَنُكَبِّرُ قَالَ قُلْتُ وَاللَّهِ لَعَجَبًا مِنْكُمْ كَيْفَ لَمْ تَقُولُوا لَهُ مَاذَا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Pagi hari di Arafah, kami bersama
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dan di antara rombongan kami ada yang
membaca talbiyah, namun kami membaca takbir." Maka aku pun berkata,
"Demi Allah, sungguh mengherankan kalian ini, kenapa kalian tidak bertanya
kepadanya, "Apa yang diperbuat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam?" (HR. Muslim).
Imam Nawawi mengutip perkataan Imam Baihaqi
mengatakan bahwa berdasarkan hadits – hadits di atas, para sahabat memulai
takbirnya setelah shalat subuh pada hari arafah hingga waktu ashar pada akhir
hari tasyrik.
Dari Syaqiq beliau berkata:
" كَانَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكَبِّرُ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ غَدَاةَ عَرَفَةَ , ثُمَّ لَا يَقْطَعُ حَتَّى يُصَلِّيَ الْإِمَامُ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ , ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ الْعَصْرِ " وَكَذَلِكَ رَوَاهُ أَبُو جَنَابٍ عَنْ عُمَيْرِ بْنِ سَعِيدٍ , عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , وَأَمَّا الرِّوَايَةُ فِيهِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ
‘Aliy radhiyallahu ‘anhu bertakbir setelah
shalat subuh pada hari arafah, kemudian (beliau bertakbir) tanpa putus hingga
imam shalat pada akhir hari tasyriq, kemudian beliau bertakbir ba’da shalat
ashar. Demikian juga riwayat Abu Janab dari ‘Umair bin Sa’id dari ‘Aliy bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu. (HR. Al-Baihaqi. Imam Baihaqi mengatakan bahwa atsar
tersebut maushul (bersambung/sampai) kepada ‘Ali).
عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ " أَنَّهُ
كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ غَدَاةِ عَرَفَةَ إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ "
Dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhu bahwa beliau bertakbir setelah sholat shubuh hari Arafah sampai akhir hari
Tasyriq (HR. Al-Baihaqi. Para perawinya tsiqah kecuali Abu Bakr Muhammad bin
Ahmad bin Balawaihi - shaduq).
Lafadz Takbir Dua Hari
Raya
Adapun lafadz takbir yang disukai adalah
sebagai berikut:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Dari al-Aswad beliau berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ، يُكَبِّرُ مِنْ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ، إِلَى صَلَاةِ الْعَصْرِ مِنَ النَّحْرِ يَقُولُ: «اللَّهُ
أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ»
Adalah Abdullah Ibnu Mas’ud bertakbir dari
shalat fajar pada hari arafah hingga shalat ashar pada hari nahar, beliau
mengucapkan:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar, Tiada Tuhan Selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar dan
segala puji bagi Allah. (Atsar riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushnafnya.
Perawi - perawinya tsiqah).
Imam asy-Syafi’i mengatakan di dalam
kitabnya al-Umm bahwa lafadz takbir adalah lafadz takbir sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir saat shalat yaitu اللَّهُ أَكْبَرُ. Takbir tersebut dibaca
sebanyak tiga kali. Apabila menambah dengan bacaan berikut maka hal itu
merupakan satu hal yang baik.
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدَّيْنَ، وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ، وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Keutamaan 10
Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
Dari Ibnu 'Abbas dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي
أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ
إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
"Tidak ada amal yang
lebih utama pada hari-hari (tasyriq) ini selain berkurban." Para sahabat
berkata, "Tidak juga jihad?" Beliau menjawab: "Tidak juga jihad.
Kecuali seseorang yang keluar dari rumahnya dengan mengorbankan diri dan
hartanya (di jalan Allah), lalu dia tidak kembali lagi." (HR. Bukhari).
Menurut riwayat
at-Tirmidzi:
Dari Ibnu Abbas berkata,
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ
الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا
رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
" Tidak ada
hari-hari untuk berbuat amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali sepuluh
hari pertama bulan Dzul Hijjah, " para shahabat bertanya, wahai
Rasulullah, sekalipun Jihad fi sabilillah?, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
salam menjawab: "Sekalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang lelaki
yang pergi berjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak kembali sedikitpun dari
keduanya." (HR. At-Tirmidzi, beliau berkata hadits ini hadits hasan shahih
gharib).
Menurut riwayat ad-Darimi
yang dishahihkan oleh Imam Nawawi:
Dari Ibnu Abbas dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي
أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْ الْعَمَلِ فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ قِيلَ وَلَا الْجِهَادُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ
بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
"Tidak ada amalan
yang lebih utama daripada amalan pada hari sepuluh Dzul Hijjah." Beliau
ditanya; "Tidak pula berjihad di jalan Allah?" Beliau menjawab:
"Tidak pula berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan
jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dengan sesuatupun." (HR.
Darimi. Shahih).
Bila Shalat Id
Jatuh Pada Hari Jum’at
Apabila shalat Id jatuh
pada hari jum’at, maka wajib bagi penduduk kota untuk melaksanakannya dan tidak
wajib untuk melaksanakannya bagi penduduk desa yang tidak sampai kepada mereka
seruan jum’at dan mengharuskan mereka untuk menghadiri shalat jum’at di kota.
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ
ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا
يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ
مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ
لَهُ
Abu 'Ubaid berkata; Setelah
itu aku juga pernah shalat ied bersama Utsman bin 'Affan, waktu itu bertepatan
dengan hari Jum'at, kemudian dia mengerjakan shalat ied sebelum berkhutbah lalu
berkhutbah, katanya; "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini
telah berkumpul dua hari raya kalian, maka siapa di antara kalian dari penduduk
luar kota yang hendak menunggu di sini (hingga tiba waktu Jum'at), silahkan
menunggu, namun jika menginginkan pulang sekarang, maka aku telah
mengizinkannya pulang." (HR. Bukhari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar