Secara umum, pelaksanaan shalat Id sama
dengan pelaksanaan shalat – shalat wajib. Baik itu rukun maupun sunnahnya. Akan
tetapi ada beberapa hal berikut ini yang menjadi kekhususan shalat Id dan
membedakannya dari shalat – shalat wajib maupun shalat – shalat sunnah lainnya.
1.
Shalat Id disunnahkan
untuk dikerjakan secara berjama’ah, disunnahkan bagi kaum muslimin seluruhnya
untuk menghadiri shalat Id. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat Abu Sa’id al-Khudri di atas dan juga riwayat Ummu ‘Athiyah berikut ini.
كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
"Pada hari Raya Id kami diperintahkan
untuk keluar sampai-sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga
para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki
dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti
doanya kaum laki-laki dengan mengharap barakah dan kesucian hari raya
tersebut." (HR. Bukhari).
2.
Shalat Id
dikerjakan tanpa adzan dan iqamah. Sedangkan khutbah dilaksanakan setelah
shalat.
Dari 'Atha' bin Abi Rabah rahimahullah:
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَرْسَلَ إِلَى
ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي أَوَّلِ مَا بُويِعَ لَهُ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ
بِالصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِنَّمَا الْخُطْبَةُ بَعْدَ الصَّلَاةِ
Bahwa Ibnu 'Abbas menyampaikan kepada Ibnu
Az Zubair pada awal dia dibai'at sebagai khalifah, bahwa tidak ada adzan dalam
shalat Hari Raya 'Idul Fithri (di jaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), dan bahwasanya khutbah
dilaksanakan setelah shalat." (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dari ‘Atha’ bin Abi
Rabah rahimahullah:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَا لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلَا يَوْمَ الْأَضْحَى
Dari Ibnu 'Abbas, dan dari Jabir bin
'Abdullah keduanya berkata, "Dalam shalat Idul Fitri dan Idul Adha tidak
ada adzan." (HR. Bukhari & Muslim).
Pada saat pelaksanaan shalat Id, karena
tidak ada adzan dan iqamah, disunnahkan untuk menyeru mendirikan shalat secara
berjama’ah dengan lafadz الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ. Hal ini diqiyaskan kepada shalat Kusuf yang pelaksanaannya
juga tanpa adzan dan iqamah.
Dari 'Abdullah bin 'Amru beliau berkata:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
"Saat terjadi gerhana matahari di
zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka diserukan dengan panggilan,
'Ashshalaatul jaami'ah (Marilah mendirikan shalat secara bersama-sama) '. (HR.
Bukhari & Muslim).
3.
Shalat Id
dikerjakan dua raka’at
Dari Abdurrahman Bin Abul Laila dari Umar
radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
صَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ وَصَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Shalat dalam bepergian itu dua
rakaat, shalat Idul Adha itu dua rakaat, shalat Idul Fithri itu dua rakaat dan shalat Jum'at itu dua rakaat genap tanpa
qashar (diringkas) berdasarkan lisan Muhammad shallallahu 'alaihi
wasallam." (HR. Ahmad, Nasa’i, dan Baihaqi. Imam Nawawi mengatakan hadits
ini hadits hasan).
Imam Nawawi mengatakan di dalam kitabnya
Majmu’ Syarah al- Muhadzdzab bahwa shalat Id itu dua raka’at berdasarkan ijma’.
4.
Shalat Id
dikerjakan dengan diawali takbiratul ihram. Kemudian setelah takbiratul ihram,
disunnahkan untuk membaca do’a iftitah. Kemudian disunnahkan bertakbir tambahan sebanyak tujuh
kali dengan mengangkat tangan sebagaimana takbiratul ihram. Kemudian diwajibkan
untuk membaca surat al-Fatihah dan disunnahkan untuk mengawalinya dengan
membaca ta’awwudz. Setelah membaca surat al-Fatihah, disunnahkan untuk membaca
surat – surat atau sebagian surat dari al-Qur’an. Pada raka’at kedua, dilakukan
sebagaimana pada raka’at pertama akan tetapi tanpa membaca do’a iftitah dan
takbir tambahannya dilakukan sebanyak lima kali. Jumlah takbir yang tujuh kali pada
raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua tidak termasuk takbiratul
ihram, takbir hendak ruku’, dan takbir bangkit dari sujud pada raka’at pertama.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu
‘anhu beliau berkata:
قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي الْأُولَى وَخَمْسٌ فِي الْآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda:
takbir pada waktu shalat Idul fithri tujuh kali pada rakaat pertama dan lima
kali pada rakaat terakhir dan bacaan Al-Qur'an setelah itu semua. (HR. Abu
Dawud. Imam Nawawi mengatakan hadits ini sanadnya hasan, dengan keseluruhan
riwayat yang ada hadits ini menjadi shahih).
Perihal mengangkat tangan pada saat takbir
tambahan, Imam Nawawi mengatakan bahwa mengangkat tangan ketika takbir tambahan yang
tujuh dan lima kali adalah disukai (sunnah sebagaimana halnya mengangkat tangan
ketika takbiratul ihram). Pendapat yang demikian juga merupakan pendapat dari
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, sementara Imam Malik mengatakan tidak mengangkat
tangan ketika takbir tambahan.
Apabila lupa ataupun tertinggal dalam
mengerjakan takbir – takbir tambahan tersebut baik itu kurang jumlahnya dsb
hingga imam mulai membaca al-Fatihah, maka tidak perlu mengerjakan takbir –
takbir tambahan yang kurang atau lupa tersebut. Hal ini dikarenakan waktu untuk
melakukannya telah berakhir dengan dimulainya bacaan al-Fatihah. Sehingga tidak
perlu mengerjakan yang tertinggal sebagaimana ketika seseorang tertinggal
membaca do’a iftitah, karena hal tersebut adalah sunnah dan bukan wajib (rukun
shalat).
5.
Disukai
untuk berhenti sejenak di antara takbir – takbir tambahan yang tujuh kali dan
lima kali dengan kadar membaca satu ayat yang tidak panjang dan tidak pendek.
Mengucapkan tahlil, takbir, tahmid, dan mengagungkan Allah di antara takbir –
takbir tambahan tersebut. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Mas’ud dan
Imam Ahmad. Sedangkan Imam Malik mengatakan tidak membaca apa – apa di antara
takbir – takbir tambahan tersebut.
Dari ‘Alqamah beliau berkata:
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، وَأَبَا مُوسَى وَحُذَيْفَةَ خَرَجَ إِلَيْهِمْ الْوَلِيدُ بْنُ عُقْبَةَ قَبْلَ الْعِيدِ، فَقَالَ لَهُمْ: إِنَّ هَذَا الْعِيدَ قَدْ دَنَا، فَكَيْفَ التَّكْبِيرُ فِيهِ؟ فَقَالَ عَبْدُ اللهِ: " تَبْدَأُ
فَتُكَبِّرُ تَكْبِيرَةً تَفْتَتِحُ بِهَا الصَّلَاةَ، وَتَحْمَدُ رَبَّكَ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تَدْعُو وَتُكَبِّرُ، وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تَقْرَأُ وَتَرْكَعُ، ثُمَّ تَقُومُ فَتَقْرَأُ، وَتَحْمَدُ رَبَّكَ، وَتُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ تَدْعُو، ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ , ثُمَّ تُكَبِّرُ وَتَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ". وَهَذَا
مِنْ قَوْلِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَوْقُوفٌ عَلَيْهِ، فَتَابَعَهُ فِي الْوُقُوفِ بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ لِلذِّكْرِ إِذْ لَمْ يُرْوَ خِلَافُهُ عَنْ غَيْرِهِ، وَنُخَالِفُهُ فِي عَدَدِ التَّكْبِيرَاتِ وَتَقْدِيمِهِنَّ عَلَى الْقِرَاءَةِ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَمِيعًا بِحَدِيثِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , ثُمَّ فِعْلِ أَهْلِ الْحَرَمَيْنِ، وَعَمَلِ الْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْمِنَا هَذَا، وَبِاللهِ التَّوْفِيقُ
Bahwasanya Ibnu Mas’ud, Abu Musa, dan
Hudzaifah didatangi oleh Al-Walid bin Uqbah sebelum shalat hari raya. Al-Walid
bertanya kepada mereka, “Hari id sudah dekat, bagaimana cara takbir di
dalamnya.” Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Anda awali dengan takbiratul ihram
sebagai pembuka shalat, anda puji Allah dan membaca shalawat untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdoa. Lalu bertakbir lagi, dan
anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu
lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir
lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Kemudian membaca (al-Fatihah) dan
ruku’. Kemudian berdiri dan membaca (al-Fatihah), memuji Rabb anda, dan
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berdoa. Lalu
bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan
anda lakukan seperti itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti
itu lagi. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti itu lagi. (Al-Baihaqi
berkata:) Ini adalah perkataan ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
secara mauquf (perkataan sahabat). Maka kami mengikuti apa yang dilakukan
Ibnu Mas’ud dalam diam di antara dua takbir untuk berdzikir ketika tidak
ada riwayat yang menyelisihi dari selainnya. Dan (kami) berbeda dengannya dalam
hal jumlah takbir dan mendahulukan membaca al-Fatihah pada raka’at yang kedua,
seluruhnya berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
perbuatan ahlul Madinah dan Makkah, serta apa yang diamalkan oleh kaum muslimin
hingga hari ini. Wabillahi taufiq. (HR. Baihaqi, Imam Nawawi mengatakan
sanadnya hasan).
Imam an-Nawawi mengatakan:
Adapun jumhur sahabat – sahabat (ulama
mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa dzikir yang dibaca di antara takbir – takbir
tersebut adalah:
سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
“Maha Suci Allah, segala puji bagiNya,
tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar”.
Apabila menambah dengan dzikir – dzikir yang
lain (dzikir, shalawat, do’a), hal itu diperbolehkan. Al-Shaydalani mengatakan
dari sebagian sahabat – sahabat (ulama mazhab Syafi’i), bahwa dzikir yang
dibaca di antara takbir – takbir tersebut adalah:
لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ له له الملك وَلَهُ الْحَمْدُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شئ قَدِيرٌ
“Tiada tuhan selain Allah yang satu, tiada
sekutu bagiNya, baginya kerajaan dan baginya segala pujian, ditanganNya segala
kebaikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Ibnu ash-Shabbagh berkata: apabila membaca
bacaan yang biasa dibaca oleh orang – orang yaitu:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَثِيرًا
merupakan suatu hal yang baik. (An-Nawawi,
Majmu Syarh al-Muhadzdzab).
Pada dasarnya tidak ada ketentuan dzikir
yang harus dibaca, boleh dzikir apapun. Meski demikian, berdzikir dengan bacaan
- bacaan di atas terutama yang dianjurkan oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah lebih
disukai mengingat dzikir – dzikir tersebut adalah dzikir – dzikir yang telah
dipilih oleh para ulama karena keutamaannya sebagaimana disebutkan di dalam
berbagai hadits.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau
berkata:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam telah bersabda: 'Sesungguhnya membaca SUBHANALLAH WALHAMDULILLAH WALAA
ILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tiada
Tuhan selain Allah, dan Allah Maha Besar) adalah lebih aku cintai daripada
segala sesuatu yang terkena oleh sinar matahari.'" (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنْ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ
"Barang siapa yang membaca LAA ILAAHA
ILLALLAHU WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHUU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA 'ALAA
KULLI SYAI'IN QODIR (Tidak ada ilah (yang berhaq disembah) selain Allah Yang
Maha Tunggal tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala
puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu) sebanyak seratus kali dalam
sehari, maka baginya mendapatkan pahala seperti membebaskan sepuluh orang budak,
ditetapkan baginya seratus hasanah (kebaikan) dan dijauhkan darinya seratus
keburukan dan baginya ada perlindungan dari (godaan) setan pada hari itu hingga
petang dan tidak ada orang yang lebih baik amalnya dari orang yang membaca doa
ini kecuali seseorang yang dapat lebih banyak mengamalkan (membaca) dzikir
ini". (HR. Bukhari & Muslim).
6.
Disunnahkan
untuk membaca surat Qaf (surat ke 50) dan surat al-Qamar (surat ke 54) ataupun
surat al-A’la (surat ke 87) dan surat al-Ghasiyah (surat ke 88).
Dari Ubaidullah bin Abdullah bahwasanya
Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Abu Waqid Al
Laitsi:
مَا كَانَ يَقْرَأُ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأَضْحَى وَالْفِطْرِ فَقَالَ كَانَ يَقْرَأُ فِيهِمَا بِق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ وَاقْتَرَبَتْ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
"Surat apa yang dibaca oleh Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat Idul Adha dan Idul
Fithri?" ia menjawab, "Beliau membaca surat 'QAAF WAL QUR`ANIL
MAJIID' dan 'IQTARABATIS SAA'ATU WAN SYAQQAL QAMAR.'" (HR. Muslim).
Hadits Abu Waqid di atas juga menjadi dalil
bahwa shalat Id itu merupakan shalat jahriyah (shalat yang dikeraskan
bacaannya), karena bila Rasul sebagai imam tidak mengeraskan bacaannya,
tentunya Abu Waqid tidak dapat mendengar surat apa yang dibaca oleh Rasul
shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari Nu'man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu
beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْعِيدَيْنِ وَفِي الْجُمُعَةِ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِي الصَّلَاتَيْنِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam biasa membaca surat Al A'la dan surat Al Ghasyiah dalam shalat dua
hari raya dan shalat Jum'at. Bila shalat Id bertepatan dengan hari Jum'at,
beliau juga membaca kedua surat tersebut dalam kedua shalat itu." (HR.
Muslim).
7.
Apabila
seseorang tertinggal dalam mengerjakan shalat Id bersama Imam, maka dibolehkan
untuk mengqadha’ shalat Id dengan shalat sendirian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar